Sabtu, 01 November 2008

PROKLAMASI JEMAAT PERDANA

PROKLAMASI JEMAAT PERDANA

I Pendahuluan
Berbicara mengenai kekristenan tidak akan terlepas dari proklamasi jemaat pertama mengenai siapa itu Yesus. Proklamasi ini terkait dengan peristiwa kebangkitan, yang selanjutnya terkait dengan Injil. Proklamasi mengenai kebangkitan dan juga Injil menjadi sesuatu hal yang tidak mudah untuk dipahami. Akan tetapi, tidak ada salahnya jika dalam paper ini kelompok akan mencoba untuk menyajikan kedua proklamasi ini dalam rangka untuk mengetahui apa dan bagaimana jemaat perdana ‘menyatakan’ imannya mengenai siapa itu Yesus.
II Proklamasi Jemaat Perdana tentang Kebangkitan
Peristiwa kebangkitan (Paska) menjadi titik tolak bagi iman jemaat perdana kepada Yesus. Peristiwa ini juga dapat dijadikan sebagai ‘pemisah-sekaligus pengikat’ antara Yesus ‘pra-paska’ dan Yesus ‘pasca-Paskah’ Menurut Borg, Yesus pra-Paskah adalah Yesus sebagai sosok sejarah sebelum kematian-Nya, sedangkan Yesus pasca-Paskah adalah Yesus dari tradisi Kristen dan pengalaman. Maksudnya, Yesus pasca-Paskah bukan hanya hasil dari kepercayaan dan pemikiran Kristen, melainkan suatu unsur dari pengalaman.
Peristiwa kebangkitan menggambarkan bahwa Allah sendiri yang membangkitkan Yesus dari kematian. Beberapa minggu setelah peristiwa penyaliban Yesus , para murid menjadi percaya bahwa hal ini adalah sebuah fakta yang tak dapat disangkalkan lagi dari suatu peristiwa sejarah. Keseluruhan sejarah gereja yang terkemudian berdasar pula pada kenyataan ini. Pernyataan bahwa Yesus telah menampakan diri kepada Petrus, lalu kepada para murid, merupakan suatu hal yang terkandung dalam tradisi mula-mula sesudah paskah (post-Easter) yang terdapat di dalam PB.
Selanjutnya, peristiwa kebangkitan dipahami secara berbeda oleh para pakar Perjanjian Baru, terkhusus John Dominic Crossan dan N.T.Wright. Menurut Crossans, peristiwa penyaliban tidak seluruhnya adalah sebuah sejarah (terkhusus peristiwa penguburan), tetapi lebih mengarah kepada sebuah pergumulan pengikut Yesus dalam memaknai kematian dan pengalaman akan Yesus yang terus menguasai mereka. Di pihak lain, N.T.Wright menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat memisahkan peristiwa kebangkitan dengan munculnya Kekristenan. Peristiwa inilah yang membentuk sebuah komunitas Kristen yang solid, yang memiliki cerita, praksis, dan simbolnya masing-masing. Wright juga menambahkan bahwa pemahaman tentang alam baka/akhirat (afterlife) bukalah sesuatu hal yang sama di segala zaman. Dalam bukunya, N.T.Wright menjelaskan bagaimana pemahaman tentang alam baka dimengerti dan dipahami dalam konteks Perjanjian Lama, Yudaisme setelah zaman Alkitab (post-biblical Judaism) dan dalam tulisan-tulisan Kekristenan (surat-surat Paulus, Injil, Kisah Para Rasul, Ibrani, Surat-surat yang lainnya, Wahyu). Perbedaan pendapat tentang kebangkitan bukanlah suatu hal yang baru, tetapi yang terpenting adalah bagaimana peristiwa tersebut –terlepas dari perdebatan sejarah atau bukan- merupakan sebuah proklamasi dari jemaat perdana, di mana setiap jemaat memiliki pemaknaannya masing-masing.
Walaupun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa dimulai dengan Paskah, gerakan Kristen perdana seterusnya mengalami Yesus sebagai suatu realitas hayati setelah kematian-Nya, tetapi di dalam suatu cara yang sama sekali baru. Setelah Paskah, para pengikut-Nya mengalami-Nya sebagai sebuah realitas spiritual –sebagai Kristus-, yang dapat hadir di segala tempat. Pengalaman akan Yesus yang bangkit menjadi dasar pergerakan jemaat Kristen perdana. Pengalaman ini juga bertautan dengan pengharapan eskatologis Yahudi abad I, dimana jemaat perdana percaya bahwa Yesus telah bangkit dan menyatakan kepada mereka bahwa mereka harus menjadi sebuah komunitas yang saling terikat dan mempersiapkan mereka kepada peristiwa eskatologis. Pertautan antara peristiwa kebangkitan dan pengharapan eskatologis dapat dijelaskan sebagai berikut : pengharapan eskatologis yang dipahami adalah pengharapan akan kedatangan Kerajaan Allah saat mereka berada di Yerusalem –penyempurnaan ajaran Yesus-. Pengharapan ini menjadi sirna saat Yesus –sosok pemimpin mereka- mengalami kematian. Akan tetapi, pengharapan ini menjadi ‘bangkit’ kembali seturut dengan ‘pengalaman’ mereka akan kebangkitan Yesus, yang mendorong mereka untuk meneruskan pengharapan eskatologis tersebut, yaitu kedatangan Kerajaan Allah (misi Yesus). Hal ini menunjukkan bahwa peristiwa Paskah (kebangkitan) menjadi sebuah momentum iman jemaat perdana terhadap Yesus. Yesus, yang dahulunya adalah sosok sejarah, sekarang (pasca-Paskah) menjadi sosok Yesus ‘spiritual’.
Peristiwa kebangkitan juga tidak dapat dilepaskan dari peristiwa penampakan. Peristiwa penampakan ini mungkin dapat dikategorikan sebagai sebuah “penglihatan”, tetapi di dalam PB mereka menyatakan hal ini sebagai sebuah aksi penyingkapan dari Allah dan bukan hanya sebagai pengalaman spiritual belaka. Pengakuan Paskah (easter testimony) menyatakan bahwa sebuah tindakan dari Allah bukan hanya terjadi bagi para murid saja, tetapi juga merupakan sebuah tindakan yang terlebih dulu dilakukan oleh-Nya di dalam Yesus, yang mana Ia sendiri mengeluarkan Yesus dari sejarah masa lalunya dan memasukan Yesus ke dalam kekiniannya yang abadi. Untuk selanjutnya perjumpaan dengan Yesus tidak hanya terbatas kepada siapa yang melihat dia pada awal-awal permulaan pelayanan-Nya atau pada kemunculan-Nya pada pasca kebangkitan atau pengingatan akan pengalaman ini. Ini berarti bahwa keselamatan yang tercakup di dalam perkataan dan perbuatan Yesus adalah tidak hanya sebuah ingatan/peristiwa masa lalu saja, tetapi adalah sebuah keselamatan yang berlanjut dan yang selalu diteruskan pada saat ini. Inilah mengapa pemberitaan gereja tidaklah sekedar perluasan pemberitaan Yesus tentang kerajaan Allah sebagai tindakan eskatologis Allah. Tetapi lebih kepada pemberitaan Yesus sendiri, sebagai dia yang melaluianya Alaah memulai tindakan eskatologis dalam peristiwa kematian dan kebangkitannya dan terus bertindak secara eskatologis dalam kerugma gereja serta akan memenuhi tindakan eskatologis ini pada akhir
zaman. Inilah mengapa Sang Pemberita menjadi yang diberitakan dan kristologi implisitnya Yesus menjadi kristologi eksplisit gereja.
Adalah benar bahwa gereja perdana melanjutkan pemberitaan Yesus (kerajaan Allah sudah dekat) Mat 10 dan ayat sejajarnya Mark 1 : 15. Tetapi kenyataannya bahwa gereja melanjutkan pemberitaan Yesus berdampingan dengan pemberitaan gereja akan kebangkitannya. Hal ini karena pesan eskatologis Yesus telah dipertanyakan secara radikal khususnya ketika diperhadapkan dengan penyalibanya. Berita Yesus hanya dapat dilanjutkan lewat pembenaran akan yesus dan pesannya melalui kebangkitan, jadi walaupun bahaan q tidak mengandung kerygma kebangkitan tetapi ia mengandaikannya. Gereja perdana hanya dapat melanjutkan beritanya Yesus hanya ketika itu disandingkan dengan berita gereja sendiri bahwa Allah telah membangkitkan Yesus dari kematian.
III Proklamasi Jemaat Perdana mengenai Injil
Secara mendasar mengenai proklamasi gereja perdana mengenai Injil ini tak lepas dari peran tradisi kitab Yahudi yang sekarang kita sebut Perjanjian Lama. Yesus sebagai inti dari pemberitaan itu dalam PL merupakan tanda bahwa Ia adalah yang dimaksud dari yang dinubuatkan para nabi. Pusat dari peran PL dalam gereja-gereja perdana dipahami dalam kematian dan kebangkitan Yesus, melalui Mazmur 110 dapat dilihat siapa yang dimaksud, Yesus, yang dimuliakan, duduk di sebelah kanan dan yang berkuasa atas kematian.
Dalam Perjanjian Baru, terkhusus pada zaman Paulus ada banyak referensi-referensi yang tereksplisit mengenai Proklamasi Kristen mula-mula ini. Tercatat dalam buku Brevard bahwa Paulus mendahului para rasul lainnya dan yang paling penting ialah Paulus memberitakan Injil sendiri yang artinya dapat kita lihat dalam I Kor.15: 3 dan I Kor.11: 23. Dalam terjemahan Yunani, seringkali penyebaran Injil ini dikenal sebagai Kerygma yang merupakan pesan itu sendiri dalam gereja-gereja perdana. Penyebaran Injil ini hanya melalui kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Namun, dalam tiap jemaat sendiri mempunyai arti dan pemahaman yang berbeda-beda mengenai kematian dan kebangkitan Yesus –seeprti yang telah disinggung di atas-. Ketidaksamaan itu disebabkan, antara lain, karena konteks hidup masing-masing jemaat memang tidak selalu sama.
Proklamasi jemaat perdana mengenai Injil ini terbentuk dalam rangka untuk menggambarkan figur seorang Yesus. Yesus digambarkan sebagai seorang tokoh yang mampu memberikan gambaran yang kuat dalam setiap perilakunya. Pernyataan ini bersifat eksklusif dalam sejarah pengetahuan tentang diri Yesus. Dalam perkembangannya, Injil-injil perjanjian baru dibagi tiga Markus, Matius, Lukas. Kita dapat menyebutnya sebagai injil sinoptik karena masing-masing injil tersebut saling berhubungan dan saling terkait. Tidak dapat disangkal injil sinoptik bukanlah suatu sumber sejarah yang bersejarah setelah figur Yesus dari Nazareth di masa yang lalu dapat digunakan tanpa kritik dan latihan .
Pada umumnya kita dapat membedakan injil-injil yang menjadi bagian dalam tradisi. Melalui injil ini kita akan dapat mengerti kekuatan dari sejarah Yesus yang selama ini kurang kita pahami. Melalui pembagian injil-injil ini maka kita dapat lebih fokus terhadap bagian-bagian yang telah disusun sesuai dengan penulisan yang ada saat itu. Perkembangan demi perkembangan akan dibicarakan dalam injil tersebut. Perkembangan tersebut dimulai dari diri Yesus sendiri sampai kepada masalah sosial masyarakat yang terjadi saat itu. Tidak ada satu jalan keluarpun yang sulit untuk ditempuh sebagai solusi dalam setiap permasalahan yang ada di dalam injil. Sejarah Yesus dimengerti untuk membangun semua tradisi-tradisi yang dikumpulkan bersama dalam injil-injil.
Komunitas Paulus kelihatannya menggunakan istilah injil sebagai sebutan yang umum. Injil yang ada dalam tradisi mula-mula tersebut menjadi satu bagian yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat sosial saat itu. Iman menjadi salah satu bagian yang ada di dalamnya. Iman menjadi suatu unsur yang kuat dalam injil kristiani. Pada kenyataannya, injil dipakai untuk memproklamirkan atau mengumumkan berita tentang kristiani yang didalamnya keberadaan Yesus diceritakan. Proklamasi injil yang diberitakan dalam Perjanjian baru meliputi ; Yesus Kristus, Yesus adalah anak Allah, Yesus adalah Tuhan.
Selain itu, injil kristiani dalam perjanjian baru juga menceritakan tentang asal mula baptisan yang diyakini dimulai pertama kali ketika Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis, penyembahan dan konfrontasi. Hal apapun yang akan diceritakan oleh injil kristiani dalam perjanjian baru merupakan dasar orang-orang kristiani untuk dapat bertumbuh dalam iman dan kepercayaan mereka. Bagian yang terpenting yang tidak akan pernah dapat dipisahkan adalah bahwa injil kristiani tersebut tidak dapat dipisahkan dari tradisi mula-mula. Inilah yang menjadi dasar dan juga lambang yang menjadi ciri khas injil kristiani.
Informasi yang penting yang akan kita dapatkan melalui proklamasi injil perdana ini adalah bagaimana kita dapat memahami injil yang membawa suatu berita kristiani yang bijak yang berada di jalan iman kita yang kuat dengan kekuatan roh kudus yang membebaskan orang yang percaya kepada-Nya.

IV Refleksi Teologis
Injil dan Kebangkitan menjadi titik sentral perkembangan kekristenan di dunia. Terlepas dari sejarah atau tidaknya peristiwa Kebangkitan, yang pasti bahwa peristiwa ini ‘membangkitkan’ semangat jemaat perdana untuk membentuk sebuah komunitas yang solid dan mampu untuk ‘menghidupkan’ misi Yesus di dunia. Peristiwa kebangkitan dan Injil menjadi sebuah ‘peringatan’ akan Yesus yang terus memotivasi setiap orang yang mengenal-Nya untuk meneruskan misi-Nya yaitu Kerajaan Allah. Seperti pada jemaat perdana, Injil dan peristiwa kebangkitan memampukan mereka untuk menjadi jemaat yang solid karena mereka merasakan terus kehadiran Yesus di tengah-tengah mereka, sudah seharusnya gereja pada zaman sekarang, terkhusus dalam konteks Indonesia, dapat memaknai kedua hal tersebut sebagai motivator persekutuan. Persekutuan yang ‘hidup’ bukanlah persekutuan yang pasif, tetapi persekutuan yang memampukan setiap orang untuk menghadirkan Kerajaan Allah, dalam semangat kebangkitan dan Injil, di tengah-tengah konteks masyarakat yang tertindas, terbelenggu, dlsb.


DAFTAR PUSTAKA
Borg, Marcus J.Kali Pertama Jumpa Yesus : Yesus Sejarah dan Hakikat Iman Kristen Masa Kini. diterj. Ionaes Rakhmat. Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 1997

Childs, Brevard S. Biblical Theology of The Old and New Testaments: Thelogical Reflection on the Bible. London: Xpress Reprints, 1996

Dunn, James D.G.Unity and Diversity in The New Testament: An Inquiry Into the Character of Earliest Christianity. Philadelphia : The Westminster Press, 1977

Ehrman, Bart D. The New Testament, A Historical Introduction To The Early Christian Writings,edisi III. New York : Oxford University Press, 2004

Fuller, R.H.The Foundation of New Testament Christology. London: Lutterworth Press, 1965

Fredriksen, Paula. From Jesus to Christ : The Origins Of The New Testament Images of Jesus. London : Yale University Press, 1988

Gunther Bornkamm, Gunther. Jesus of Nazareth. London : Hodder and Stiughton, 1960

Koester, Helmut. Ancient Christian Gospel : Their History and Development(Philadelphia : Trinity Press International, 1990

Stewart, Robert B (ed.). The Resurrection of Jesus : John Dominic Crossan and N.T.Wright Dialogue. Minneapolis : Fortress Press,2006

Wahono, S. Wisnoady. Di Sini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari dan Mengajari Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002

Kamis, 06 Maret 2008

AGAMA, KONFLIK, DAN RESOLUSI KONFLIK

AGAMA, KONFLIK, DAN RESOLUSI KONFLIK

(Suatu Sumbangsih Pemikiran Terhadap Konflik Agama di Indonesia)

  1. Latar Belakang

Konflik tidak dapat lepas dari kehidupan tiap manusia. Mungkin pernyataan penulis ini menimbulkan berbagai ketidaksetujuan dari beberapa pihak dan kalangan. Namun, maksud penulis memberi pernyataan berikut ini tidak serta-merta mengatakan bahwa konflik itu benar. Dalam “materi pelatihan untuk stakeholder di Poso”, Litaay mengatakan bahwa kehidupan manusia tidak bisa lepas dari konflik karena kehidupan manusia tidak jauh dari suatu keadaan di mana terjadi ketidak-sepakatan, perbedaan pandangan, benturan kepentingan, maupun pertikaian terbuka antara dua pihak atau lebih.1 Maksud dari penulis sendiri lebih condong untuk mengarahkan perhatian kita kepada adanya kepentingan pribadi (abadi) yang dimiliki setiap manusia. Suatu kepentingan yang tak dapat dihilangkan ketika masih berada di dunia yang fana ini.

  1. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan makalah ini, penulis mengangkat dalam judul besar yaitu Agama, Konflik, dan Resolusi Konflik: Suatu Sumbangsih Pemikiran Terhadap Konflik Agama di Indonesia. Sorotan terhadap agama akan menjadi tujuan yang utama dalam pengkajian makalah ini. Penulis melihat bahwa pentingya peran agama dalam solidaritas sosial dalam masyarakat. Hal ini yang membuat banyak pengaruh, dan kebanyakan jahat ketika agama menjadi otoritas tertinggi dalam suatu praktek sosial. Agama yang tak memiliki kontrol bersama dalam pengaplikasiannya, sehingga menjadikan agama sebuah kejahatan besar. Penulis lebih cenderung mengatakan para penganut agama sebagai para pengikut yang percaya tanpa adanya respon intelektual untuk mengkaji setiap pemahaman yang dikeluarkan oleh agama dan inilah kebanyakan yang terjadi di Indonesia ini. Tentunya juga dalam makalah penulis ini, penulis hanya memberikan satu sisi dari sebuah koin.


KETIKA AGAMA MENJADI AKAR KONFLIK

  1. Charles Kimball: When Religion Becomes Evil2

Tradisi tiap agama selalu mengajarkan mengenai moral dan etika yang baik dalam kehidupan terhadap sesama, bahkan sampai impian kepada masa depan yang bahagia.3 Kimball juga mencatat bahwa hampir segala kejahatan yang dilakukan banyak orang diatasnamakan agama. Agama mempunyai otoritas tertinggi dalam setiap perintah di ayat sucinya. Bahkan, dengan menunjukkan paradigma yang terlalu fundamental, agama mampu menerobos pola pikir manusia menjadi pola pikir yang hanya memikirkan agama – segala sesuatu benar – masuk surga.

Berikut ada 5 tesis yang diberikan Kimball sebagai latar belakang lahirnya kekerasan agama:4

  1. Klaim Kebenaran Mutlak

Klaim kebenaran mutlak ini adalah suatu kecenderungan / tanggapan (kepercayaan penuh) yang diberikan umat kepada pemimpin yang mengajarkan dan menginterpretasikan teks-teks kitab suci sebagai kebenaran. Bagi Kimball, kecenderungan yang seperti ini merupakan awal dari kejahatan dengan memanfaatkan kepercayaan penuh para pengikut. Kimball membagi lagi klaim-klaim kebenaran mutlak ke dalam beberapa aspek penting, seperti:

    1. pemahaman tentang Tuhan yang begitu sempit, sehingga hal ini akan menyebabkan tidak dapat menghargai agama lain karena Tuhan dalam agamanya merupakan mutlak yang benar, misal: “agamaku lebih sempurna dari agamamu karena Tuhan hanya satu-satunya Tuhan yang berkuasa,”

    2. oleh karena kepercayaan penuh terhadap penafsiran yang dilakukan para pemimpin agama, maka ada kesempatan besar bagi para pemimpin agama untuk memanipulasi dan mengeksploitasi teks-teks kitab suci. Toh, yang para pengikut tahu hanya menjalankan apa yang para pemimpin agama perintahkan karena “seperti yang tertulis dalam kitab suci.” Hal ini pula yang membuka peluang besar untuk melegitimasi dengan membenarkan terjadinya suatu kekerasan dan kejahatan yang dilakukan,

    3. paradigma misi yang membuat orang yang taat akan agamanya terdorong untuk mempengaruhi orang lain untuk melihat bahwa agamanya adalah baik (Kristenisasi / Islamisasi),

    4. sikap atas klaim kebenaran mutlak yang telah dilakukan akan menentukan bagaimana selanjutnya orang tersebut memandang agama lain, adakah saling menerima satu sama lain atau sulit menerima dan mengakui kebenaran agama lainnya.

  1. Kepatuhan Buta

Tanggapan yang penuh pasrah dari para pengikut agama tanpa adanya penggalian makna dan pandangan kritis terhadap pengetahuan yang muncul tiba-tiba terhadap para pemimpin agama mengenai teks-teks kitab suci akan dengan sendirinya menimbulkan:

    1. kepemimpinan yang otoriter, mendewakan dan didewakan. Sosok seorang pemimpin yang mendewakan penafsirannya sendiri dan didewakan oleh para pengikutnya,

    2. adanya pelimpahan kekuasaan tanpa batas dan isolasi yang sangat kaku oleh sebuah kelompok orang-orang yang mencari alternatif lain di luar kelompok mainstream,

    3. sekelompok orang percaya yang tidak mengerti apa-apa namun setia kepada agamanya tanpa keinginan untuk mengetahui peranan agama yang dianutnya (kesetiaan buta),

    4. indoktrinasi terhadap pengertian dan pemahaman tentang agama yang dilakukan tanpa adanya respon intelektual dari para pengikut yang percaya.

  1. Membangun Zaman Ideal

Suatu agama yang memahami akan adanya zaman yang dinanti-nantikan, di mana zaman itu ialah zaman yang dipahami sebagai zaman pengharapan / zaman yang ideal. Dalam hal ini yang menjadi persoalan ialah ketika adanya suatu usaha-usaha yang negatif (adanya pemaksaan faham-faham yang dianut untuk dinilai yang paling benar, seperti: meng-agama-kan negara dan meng-negara-kan agama) untuk diperjuangkan demi terwujudnya zaman yang ideal ini.

  1. Tujuan Menghalalkan Segala Cara

Kecenderungan penyalahgunaan agama sebagai cara untuk mencapai tujuan dan kepentingan dengan menghalalkan segala cara, seperti penyakralan, melakukan pembelaan yang dehumanis, dan pembelaan hegemonis mati-matian secara konspiratif.

  1. Penyeruan Perang Suci

Istilah “mati syahid” tampaknya lebih cenderung dalam tesis yang kelima ini. Para pengikut yang percaya rela mengorbankan dirinya, bahkan mengakibatkan orang lain menjadi korban pula. Mereka hanya tahu bahwa yang dilakukan adalah baik dan kehendak Allah.

Kimball mengritik agama karena peran agama sudah tidak lagi sesuai dengan ajaran yang diajarkan. Kimball tidak mengatakan bahwa agama itu tidak perlu, tetapi agama seharusnya ada untuk menciptakan kedamaian di antara manusia.

  1. Jack Nelson-Pallmeyer: Is Religion Killing Us?5

Pada dasarnya Pallmeyer mengakui bahwa agama itu baik, tapi sekarang agama mulai tidak lagi bertoleransi dan berujung kekerasan. Agama dipandang sebagai the elephant in the room artinya agama terpenjara oleh paradigma yang begitu bodoh (Agamaku adalah Tuhanku yang tidak mengenal mengenal agama lain) dan melakukan gerakan apatis terhadap disekelilingnya . Oleh karena perubahan yang terjadi dalam diri agama ini, Pallmeyer mulai mengkritik agama dari dalam diri agama itu sendiri.

Pallmeyer mengkritik agama (yang mengakibatkan kekerasan) tidak hanya sudut pandang orang yang menafsirkan dan setiap perbuatan para pengikutnya yang percaya, tetapi juga melihat dari sudut pandang teks itu sendiri. Jadi, kritik Pallmeyer terhadap agama ini mulai dari kitab (teks-teks suci)pembaca – dan sampai kepada konteks. Jack Nelson-Pallmeyer melakukan dekonstruksi dengan mengkritik agama sampai ke akar-akarnya (khususnya Yahudi, Kristen dan Islam) dan ia pun merekonstruksinya sendiri demi kelancaran hidup umat manusia bersama-sama. Rekonstruksinya ialah ketiga agama ini perlu keluar bersama-sama dari pengetahuan tentang agamanya masing-masing untuk melihat secara bersama-sama the “sacred” texts ini yang mengandung / bermakna tradisi violence-of-God (yang di dalamnya terdapat contoh-contoh sikap Allah yang berperang melawan musuh) dan bersama-sama juga mencari jalan keluar terbaik agar tidak terkurung dalam the “sacred” texts mereka sendiri guna menuju paradigma yang konkret dan sehat – inklusif, bukan eksklusif.6

Adapun beberapa contoh tradisi violence-of-God dalam the “sacred” texts yang dipaparkan oleh Jack Nelson-Pallmeyer:

  1. dalam naskah Ibrani, seperti: Keluaran 11:5 – Allah yang membunuh tiap anak sulung di Mesir, baik itu anak manusia maupun anak hewan, serta masih banyak lagi dalam kitab Keluaran yang mengindikasikan bahwa Allah memerintahkan Musa untuk membunuh orang-orang Mesir untuk mengeluarkan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir.7 Kemudian, dalam cerita pembuangan bangsa Israel, Yesaya 60: 10-12 – Allah memukul mundur bangsa yang menawan bangsa Israel demi kesejahteraan bangsa Israel sendiri, dan menghukum bangsa Israel sendiri ketika didapati melakukan dosa.8

  2. dalam naskah Perjanjian Baru, seperti: kematian Yohanes Pembaptis (Mat. 14), eksekusi hukuman salib Yesus (Mat.27: 32-56), dan hancurnya Yerusalem.9 Wahyu 14:9-10 – apokaliptik yang menyatakan bahwa kemurkaan Allah akan turun bagi orang yang tidak taat dan patuh.10 Oleh karena alasan seperti ini dari sekian banyak ayat lainnya, dapat membuka peluang adanya kekerasan yang timbul dalam setiap praktek keagamaan. :

  3. dalam naskah Al-Qur’an, tradisi violence-of-God dibagi menjadi 7 bagian:11

  1. ancaman-ancaman neraka terhadap mereka yang tidak percaya (kalimat syahadat), kalimat pengakuan yang mengandung makna bahwa tiada Tuhan selain Allah dan mengakui nabi Muhammad itu utusan Allah yang paling akhir dan dipercayai membawa Al-salam (Islam),12

  2. ancaman-ancaman neraka terhadap mereka yang bersikap tidak baik dengan memotivasi sikap yang positif (setiap orang harus berjalan sesuai dengan kehendak Allah).13 Hal ini lebih cenderung kepada kepatuhan buta (hanya kehendak Allah yang paling benar),

  3. takut akan Allah yang sesuai dengan kehendak Allah dalam Al-Qur’an. Muhammad sebagai sentral pemberitaan dalam Al-Qur’an. Sehingga banyak yang mendalilkan setiap keputusan yang diambil berdasarkan Muhammad said,14

  4. membenarkan kekerasan manusia dan peperangan melawan agama lain dan musuh-musuh (Allah is Protector of Those Who Have Faith). Fight in the cause of Allah Those who fight you, but do not transgress limits; For Allah loveth not transgressors (2:190),15

  5. Paradise Promisses. Berani melakukan pertarungan / berjihad dan mereka memahami bahwa dengan melakukan kehendak-Nya akan masuk surga. Jack Nelson-Pallmeyer mengutip ayat agar setiap muslim yang melakukan kehendak-Nya masuk ke Surga:16

Those who have left their homes, And were driven out there from, And suffered harm in My Cause, And fought and where slain – Verily, I will blot out From their iniquities, And admit them into Gardens With rivers flowing beneath – A reward from the Presence of Allah, and from His Presence Is the best of rewards. (3:195)

  1. images of God as holy warrior. Dalam Qur’an 2:251 dikatakan bahwa Daud membunuh Goliat dikarenakan Allah’s will. Hal ini mengindikasikan adanya peran serta Allah dalam kekerasan,17 dan

  2. pemahaman umat yang radikal dan tak kenal kompromi (Islamic Extremists). Hal ini disebabkan adanya interpretasi terhadap ayat Al-Qur’an yang sempit, sehingga mengakibatkan pula sempitnya pemahaman yang beredar di kalangan umat.18

  1. Johan Galtung: Segitiga Kekerasan

Johan Galtung, dalam antitesisnya, memperkenalkan conflict trianglenya yang biasa dikenal sebagai segitiga kekerasan Galtung, yaitu:19

  1. Direct (overt) violence. Kekerasan langsung yang terjadi secara fisik (penyerangan langsung).

  2. Structural violence. Kekerasan struktural ini termasuk kekerasan tak langsung karena penekanan lebih condong kepada sistem yang berjalan dalam suatu situasi sosial.

  3. Cultural Violence. Kekerasan yang sudah ada dalam suatu budaya yang dianut sekelompok orang di dalamnya. Model kekerasan ini terjadi karena perilaku yang sudah sering dilakukan (kebiasaan) sehingga tidak terlalu menimbulkan pro dan kontra yang menyolok, terkecuali ada yang memrotes kebudayaan tersebut dan hendak melakukan perubahan karena dinilai telah mengakibatkan kekerasan yang selama ini belum dimengerti sepenuhnya,

Galtung juga memperkenalkan mengenai negative and positif peace. Galtung menilai ketika kekerasan fisik terhenti, namun masih belum terselesaikan secara mendalam, maka hal itu tetap ada konflik dari dalam (negative peace), sedangkan masalah konflik terselesaikan sampai ke akar-akarnya tanpa lagi ada lingkaran dendam dari generasi ke generasi, maka ini disebut sebagai positive peace.

  1. Pengertian Konflik

Secara psikologi, konflik adalah suatu proses yang terjadi apabila perilaku seseorang yang terhambat karena perilaku orang lain dan lebih cenderung terjadinya ketidaksesuaian dalam suatu hubungan. Braiker dan Kelley mengelompokkan bermacam-macam konflik dalam tiga kategori:20

  1. Perilaku spesifik

Konflik yang terjadi karena perilaku spesifik ini terjadi karena salah satu pihak membuat suatu perbuatan atau keputusan yang merugikan orang lain, seperti: orang mabuk di suatu pesta, dan seseorang yang membuang sampah sembarangan, dan lain-lain.

  1. Norma dan Peran

Konflik jenis ini lebih cenderung ke arah sosial yang menyangkut peran, baik hak maupun kewajiban yang ada dalam diri seseorang, seperti: kurang seimbangnya hubungan timbal balik, pengingkaran janji, dan lain-lain.

  1. Disposisi pribadi

Terjadi ketika adanya tanggapan atau respon melalui perilaku seseorang terhadap orang yang tidak disukainya.

Ada pula pengertian konflik secara sosiologi. Engel menyebutkan ada 4 (empat) faktor penyebab konflik, yaitu:21

  1. akibat perbedaan sasaran dan ekspetasi. Adanya perbedaan sasaran terhadap tujuan yang hendak dicapai dalam suatu usaha atau hubungan kerja sama.

  2. Masalah komunikasi yang mengakibatkan salah paham dan salah interpretasi. Terjadi karena kurangnya kemampuan pengetahuan terhadap sesuatu yang hendak diinterpretasi.

  3. Perbedaan gaya manajemen. Adanya perbedaan pandangan dalam memahami atau memandang sesuatu yang hendak dijalankan bersama.

  4. Perbedaan kepribadian / personality. Di sinilah yang sering terjadi konflik karena satu sama lain masih melihat kepribadiannya masing-masing (ras, etnis, suku, sejarah pribadi) sebagai yang paling baik.

Pemahaman-pemahaman konflik di atas dapat kita tarik suatu pengertian bebas, yaitu konflik terjadi karena adanya suatu hubungan kekerabatan (relationship). Hubungan kekerabatan ini menciptakan suasana interdependensi yang meningkat. Hal inilah yang membuat semakin rentannya konflik terjadi, baik itu secara individu maupun sosial. Interdependensi yang makin meningkat akan meminta suatu pengertian bersama atau dengan kata lain kehidupan bersama mengehendaki adanya suatu pandangan bersama yang universal guna mencapai tujuan bersama ke depannya dan tetap terjaganya relationship tersebut. Namun, konflik akan terjadi ketika tidak adanya suatu pandangan bersama, apalagi cenderung berorientasi kepada kepentingan-kepentingan individu.


AGAMA, KONFLIK, DAN RESOLUSI KONFLIK DI INDONESIA

Tercatat bahwa semenjak adanya program transmigrasi di Indonesia yang sebelumnya sudah dilakukan oleh pemerintahan Soeharto (1968-1998), telah mengakibatkan timbul banyaknya persepsi bahwa pemerintah sengaja mengadakan transmigrasi untuk melakukan peng-Islam-an di Indonesia (isu Islamisasi). Mengenai hal ini ternyata program transmigrasi sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda dengan tujuan untuk memindahkan penduduk dari daerah padat, seperti pulau Jawa, Bali dan Madura ke daerah yang lebih sedikit penduduknya, seperti Ambon, kepulauan Sunda dan Papua.22 Isu Islamisasi ini terjadi ketika mulai bermunculannya konflik-konflik agama di daerah-daerah tujuan transmigrasi tersebut. Kenyataannya tujuan program ini (pada beberapa dekade ini), yang diaktifkan pada zaman Hindia Belanda, tidak lagi semurni apa yang dilakukan pada masa lalu. Ada kepentingan-kepentingan pribadi yang dijalankan demi tercapainya kekuasaan politik untuk memecah-belah persatuan dan kesatuan di daerah yang dituju dan tentunya kepentingan-kepentingan para elit penguasa.

  1. Agama: Suatu Analisa Peran Agama di Indonesia

Adalah Franz Magnis-Suseno yang mengatakan bahwa agama dalam era modern dan globalisasi ini agama masih berpegang pada paradigma lama. Paradigma lama yang dimaksud Suseno ialah paradigma agama yang masih eksklusif, yaitu orang kita-orang asing. Ada keterpisahan antara orang yang percaya pada suatu agama dengan orang yang percaya dengan agama lain. Pada abad ke-21 ini, dunia semakin meng-universal, semua hal bisa terjangkau. Oleh karena itu, manusia juga membutuhkan pemikiran yang universal untuk dapat bersatu dengan individu yang lain menjalin komunikasi dan kerjasama. Namun, sayangnya agama menjadi faktor penghambat untuk hal ini. Agama menolak dengan dingin apa yang disebut modernisasi. Dalam hal ini, Suseno membandingkan masa sekarang dengan masa Pencerahan (Aufklarung), di mana mulai memperjuangkan cita-cita etika politik baru yang bertujuan menjamin martabat manusia ciptaan Allah, tapi agama menolaknya dengan dingin cita-cita demokrasi, hak asasi manusia, toleransi religius, kebebasan berpikir dan beragama, serta cita-cita kebebasan dan kesamaan manusia itu. Dengan demikian, konflik akan terjadi terus karena agama selalu merasa bahwa modernisasi dan globalisasi adalah ancaman mutlak bagi mereka, sehingga untuk menegakkan agamanya, orang-orang di dalam agama (fanatik) akan melakukan tindakan dehumanisasi untuk mempertahankan paradigma lama mereka.23

Selain itu ada juga pandangan seorang pendeta Sumba yang mengatakan bahwa sikap fanatik telah mencemarkan dan memerosotkan agama sampai ke tingkat yang paling rendah. Mengapa dikatakan fanatik? ya, karena semangat itulah yang sedang terjadi dalam negara Indonesia. Yewangoe mengambil contoh dalam Hans űng mengenai empat posisi relasi antar-agama dalam negara Indonesia, yaitu posisi pertama ialah tidak ada agama yang benar (semua agama sama-sama tidak benar), posisi kedua ialah hanya ada satu agama, semua agama lain tidak benar, posisi ketiga ialah setiap agama adalah benar (semua agama adalah benar), posisi keempat ialah hanya satu agama yang benar dan agama lain mempunyai andil dalam kebenaran agama yang satu ini. Adalah posisi yang kedua merupakan relasi antar-agama di Indonesia, yaitu hanya ada satu agama yang benar, semua agama lain tidak benar. Pandangan seperti inilah yang memicu tindakan-tindakan the elephant in the room (bahasa Pallmeyer), yang membabi-buta melakukan dehumanisasi demi menyatakan agamanya yang paling benar (dan yang lain kafir). Dalam kritik Yewangoe terhadap kehidupan beragama di Indonesia ini, beliau juga menganggap tidak ada yang cocok untuk dikembangkan dalam kemajemukan agama di Indonesia ini, tapi keempat posisi itu membantu untuk mengkontekstualkan teori itu ke dalam negeri sendiri, yaitu “satu pohon mempunyai banyak daun, ada banyak agama dan semuanya itu berakar pada satu Tuhan saja.” Artinya tidak ada agama yang mengklaim dirinya benar karena “Kebenaran” itu sendiri adalah pusat yang harus dikelilingi oleh agama-agama yang ada.24

Dua pandangan di atas adalah pandangan para teolog dalam negeri. Kini, penulis, mencoba beralih pandangan ke pemikir lain yang ikut menyumbangkan kritiknya terhadap agama. Kimball dan Pallmeyer berusaha melihat faktor apa yang ada dalam agama ketika agama itu sendiri tidak lagi mendatangkan kedamaian, melainkan berujung kekerasan. Pada dasarnya Kimball dan Pallmeyer sama melihat adanya faktor intelektual, baik pada pemimpin agama maupun para pengikut setia agama dalam mengambil keputusan yang hendak dijalankan. Namun, bedanya ialah Kimball lebih condong kepada pola pikir para pemimpin agama dan para pengikut dan Pallmeyer sendiri lebih menyoroti teks kitab suci (dasar agama) yang dianggap sumber dari kekerasan itu sendiri.

Sungguh sangat menarik menurut penulis, ketika kita menggabungkan dua pola pikir ini (Kimball dan Pallmeyer). Kimball mensinyalir adanya awal kejahatan dari klaim kebenaran mutlak yang diberikan pada penginterpretasi teks bahwa tafsiran teks yang dilakukan adalah benar adanya dan perlu dilaksanakan demi melakukan kehendak Allah. Inilah yang menjadi kritik Pallmeyer juga, yaitu ternyata dalam teks itu sendiri mengandung tradisi violence of God, sehingga otomatis dalam interpretasi yang sembrono dan sempit akan melahirkan suatu gerakan kekerasan untuk berjuang mencita-citakan dan mengatasnamakan kehendak Allah tersebut. Selain itu, ada pula teori kepatuhan buta yaitu terjadi pada kalangan para pengikut yang mendewakan para pemimpin yang ingin mewujudkan zaman yang “ideal” atau dalam bahasa Pallmeyer adanya kepentingan pribadi dalam penafsiran the “sacred” texts itu. Sehingga sungguh sangat memungkinkan untuk jalan terakhir ialah meletuskan adanya perang suci atas nama “perangku adalah perang Allahku” dan itu akan menimbulkan konflik di setiap pelosok tanah air.

Namun, lebih menarik kalau kita meminjam istilah Galtung sejenak dengan Cultural Violencenya. Galtung memosisikan cultural violencenya sebagai dasar untuk melegitimasi kekerasan (direct dan structural) yang terjadi. Cultural violence terjadi menjadi sebuah legitimasi karena pandangan teologis yang ada di agama itu sendiri. Pandangan teologis ini menggerakkan para pengikut untuk bersikap sebagaimana seharusnya. Kembali lagi pada Suseno, bahwa pandangan teologis seperti inilah yang harus diperbaharui.

  1. Konflik dan Resolusinya (Mediasi): Suatu Sumbangsih Pemikiran Terhadap Konflik Agama di Indonesia

Konflik di Indonesia seperti di Ambon, Poso, dan lain sebagainya merupakan konflik agama yang tak dapat diselesaikan dengan tempo yang singkat. Artinya butuh proses (waktu) untuk menyelesaikan konflik yang besar ini. Ada pula konflik yang kecil, yang belum memuncak menjadi perang atas nama agama, seperti pengrusakan rumah-rumah ibadat di daerah Ibukota, pulau Jawa, dan lainnya. Konflik ini masih dapat diredam, namun ada potensi untuk menjadi besar (Galtung).

Untuk memahami dan menyelesaikan konflik ini dibutuhkan penengah agar kesepakatan bersama terjalin. Mediasi merupakan salah satu jalan yang semestinya ada dalam melihat pertikaian yang terjadi. Mediasi ada untuk kedua belah pihak, bukan untuk salah satu, oleh karenanya mediator hanya membantu untuk bersama melihat sisi positif yang harus dijalankan kedua belah pihak agar bisa berjalan ke depannya dengan damai. Adapun prinsip utama yang harus dipunyai mediator adalah sebagai pemberdaya dan fasilitator yang netral. Tidak boleh lebih dari itu karena intervensi mediator hanyalah di tengah dengan senetral-netralnya. Duabelas fase tindakan mediator yang harus diterapkan untuk mencapai kesepakatan bersama (win-win solution):25

    1. membangun hubungan para pihak yang bersengketa,

    2. memilih strategi-strategi sebagai proses mediasi,

    3. mengumpulkan dan menganalisis latar belakang informasi,

    4. mendesain rencana detail bagi mediasi,

    5. membangun kepercayaan dan kerjasama,

    6. memulai acara mediasi (adanya negosiasi),

    7. merumuskan masalah dan menetapkan agenda,

    8. mengungkapkan kepentingan tersembunyi para pihak yang bersengketa,

    9. menentukan pilihan-pilihan untuk penyelesaian masalah,

    10. menemukan pilihan-pilihan untuk menyelesaikan sengketa,

    11. tawar-menawar terakhir, dan

    12. mencapai penyelesaian formal.

Keduabelas langkah ini mengindikasikan bahwa upaya mencapai kesepakatan bersama dibentuk / diputuskan oleh kedua belah pihak yang berkonflik itu sendiri. Mediator hanya membantu proses, yang berperan penting dan yang sangat menentukan adalah kesadaran dan keterbukaan hati dan pikiran kedua belah pihak untuk merespon proses mediasi yang dilakukan.

Ada satu kata kunci yang mengena pada langkah-langkah mediasi ini, yang juga sesuai dengan saran dari Liek Wilardjo,26 yaitu adanya dialog. Liek Wilardjo menegaskan bahwa integrasi adalah kemungkinan ke depannya untuk sebuah konflik, tetapi yang terpenting adalah adanya dialog. Dengan adanya dialog antar umat beragama, berarti sudah menciptakan setidak-tidaknya suasana saling menghargai walaupun kurang dari yang diharapkan dalam mencapai perdamaian. Dialog menandakan adanya keinginan dari dalam untuk mendengarkan dan didengarkan antara kedua belah pihak. Dalam bahasa Galtung, dialog adalah negative peace, sedangkan integrasi adalah positive peace.


BUKAN PENYELESAIAN, MELAINKAN KESEPAKATAN BERSAMA

Konflik yang terjadi tak dapat terelakkan lagi ketika pola pikir kita masih tertutup terhadap apa yang ada disekeliling kita. Banyak pendekatan-pendekatan dilakukan, namun banyak pula yang gagal dalam melakukan pendekatan tersebut, karena masih adanya kepentingan pribadi yang dibawa dalam pendekatan itu. Gus dur dalam artikel Agus Rachmat27 mengatakan bahwa agama seharusnya dipisahkan dari negara, begitu pula sebaliknya. Negara yang membawa faktor sosial, politik dan ekonomi hanya menambah masalah baru dengan adanya kepentingan-kepentingan pribadi untuk melakukan penguasaan negara atas nama agama. Negara seharusnya menjadi instrumen sosial yang mengaktualkan ajaran universal setiap agama di Indonesia menjadi nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga bisa dikatakan dan seharusnya tetap berlaku, yaitu pancasila sebagai pandangan bersama di Indonesia. Pandangan bersama ini tidak dapat berjalan dengan mulus ketika salah satu pihak / agama mengintervensi urusan negara, dan begitu juga sebaliknya negara intervensi terhadap salah satu agama.

Dialog adalah sebuah jalan yang perlu dicoba. Dialog merupakan upaya mandiri yang seharusnya dilakukan agama-agama yang ada di Indonesia untuk mencegah masuknya intervensi negara / pihak-pihak yang membawa kepentingan pribadi para elit penguasa ke dalam pencapaian kesepakatan bersama. Dialog yang dilakukan perlu menembus dimensi setiap budaya yang bertikai karena paradigma yang paling mendasar terletak pada budaya itu sendiri, sehingga kesepakatan bersama ada bukan untuk menghilangkan budaya itu, melainkan memperbaharuinya dengan paradigma yang baru, contoh di Ambon ada suatu ikatan yang telah membudaya, yaitu “pela”, budaya yang menjunjung tinggi kebersamaan , di mana susah dan senang dirasakan secara bersama. Budaya tetap exist dan pola pikir terus berkembang, itulah yang seharusnya berkembang di daerah konflik karena yang berkonflik bukan orang kita dengan orang asing, melainkan orang kita dengan orang kita. Tidak ada yang bisa menyatukan selain dari pada budaya itu sendiri, budaya yang pada dasarnya dibentuk karena kesepakatan bersama.

Mediasi memerlukan waktu yang lama untuk konflik seperti di Ambo, Poso, dan lain sebagainya, begitu juga kesepakatan yang akan dicapai. Ketika agama tidak bisa menyatukan, maka budaya yang berbicara. Mediasi (Resolusi) yang dijalankan bukan untuk menyelesaikan, melainkan untuk mencapai kesepakatan bersama. Artinya, menurut penulis, adalah bukan musuh yang kita hadapi, tapi saudara. Adanya kesepakatan bersama akan mencapai rasa kekeluargaan yang tinggi, sehingga kepentingan bersama didahulukan dari pada kepentingan pribadi (abadi).

DAFTAR PUSTAKA



Engel, Jacob D. Gereja dan Masalah Sosial. Salatiga: Tisara Grafika, 2007.

Kimball, Charles. When Religion Becomes Evil. New York: Harpercollins Publishers,Inc, First Edition. 2002.

Lattu, Izak Y. M. Makalah Agama, Konflik, dan Resolusi Konflik: Duabelas Fase Tindakan Mediator oleh Peter Suwarno.

Litaay, Theofransus L. A., dkk. Manajemen Konflik: Materi Pelatihan Untuk Stakeholder. Sulawesi Tengah: Poso. 2007.

Nelson-Pallmeyer, Jack. Is Religion Killing Us? New York: Trinity Press International. 2003.

Sears, David O. Jonathan L. Freedman, dkk. Psikologi Sosial Jilid 1. Jakarta: Erlangga, Edisi Kelima. 1988.

Tim Balitbang PGI. Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Theologia Religionum. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2003.

Yewangoe, A. A. Iman, Agama dan Masyarakat Dalam Negara Pancasila. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2002.

SUMBER JURNAL


Jurnal Waskita Vol.II No. 2, Nov.2005 oleh Liek Wilardjo dalam artikel “Persrawungan Ilmuwan-Agamawan: Dialog Menuju Kemungkinan Integrasi?”



SUMBER INTERNET


http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia#Hubungan_antar_agama


http://en.wikipedia.org/wiki/peace_and_conflict_studies


http://www.passievoorvrede.nl/upload/indonesie/karagan/karagan_01_interreligious.html

1 Theofransus L. A. Litaay, dkk, Manajemen Konflik: Materi Pelatihan Untuk Stakeholder (Sulawesi Tengah: Poso, 2007), 1.

2 Charles Kimball, When Religion Becomes Evil (New York: Harpercollins Publishers, Inc, First Edition, 2002).

3 Ibid., 23.

4 Ibid., 38-166.

5 Jack Nelson-Pallmeyer, Is Religion Killing Us? (New York: Trinity Press International, 2003).

6 Ibid., 148.

7 Ibid., 46.

8 Ibid., 51.

9 Ibid., 68.

10 Ibid., 69.

11 Ibid., 75.

12 Ibid.

13 Ibid., 79.

14 Ibid., 81.

15 Ibid., 84.

16 Ibid., 88.

17 Ibid., 90.

18 Ibid., 91.

19 diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/peace_and_conflict_studies pada 12 Dec 2007 pukul 07.07 p.m.

20 David O. Sears, Jonathan L. Freedman, dkk, Psikologi Sosial Jilid 1 (Jakarta: Erlangga, Edisi Kelima, 1988), 245.

21 Jacob D. Engel, Gereja dan Masalah Sosial (Salatiga: Tisara Grafika, 2007), 108.

22 diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia#Hubungan_antar_agama pada 12 Dec 2007 pukul 07.44 p.m.

23 Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Theologia Religionum (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 52-61.

24 A. A. Yewangoe, Iman, Agama dan Masyarakat Dalam Negara Pancasila (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 17-25.

25 Izak Y. M. Lattu, Makalah Agama, Konflik, dan Resolusi Konflik: Duabelas Fase Tindakan Mediator oleh Peter Suwarno .

26 Jurnal Waskita Vol.II No. 2, Nov.2005 oleh Liek Wilardjo dalam artikel “Persrawungan Ilmuwan-Agamawan: Dialog Menuju Kemungkinan Integrasi?,” 137-147.


Senin, 25 Februari 2008

Kesejahteraan Manusia-Lingkungan

KESEJAHTERAAN MANUSIA-LINGKUNGAN: ANTISIPASI GLOBAL WARMING SEBAGAI SEBUAH WADAH APLIKASI PEMERSATU TIAP AGAMA

(INDONESIA SEBAGAI SEBUAH KONTEKS)


Ide / gagasan:

  • Kesejahteraan Manusia-lingkungan sebagai wadah kebersamaan dalam pluralitas yang ada

  • Penderitaan manusia dan planet ini yang bisa menjadi masalah bersama agama

  • Global warming sebagai sebuah konteks bentuk pertanggungjawaban setiap manusia yang mengarah kepada peran tiap agama, khususnya di Indonesia, guna menjembatani konflik agama selama ini yang terjadi

  • Peran tiap agama di Indonesia walaupun berbeda faham namun mempunyai kesatuan perspektif dalam kesejahteraan manusia-lingkungan melalui ekoteologi sebagai perspektif bersama

  • No violence for each other baik terhadap manusia-maupun alam itu sendiri

  • Manusia yang beragama – manusia yang bersosial – manusia yang berlingkungan juga


Hipotesa:

  • Kesatuan alam (lingkungan) dan manusia sebagai kesatuan / jawaban universal dalam menanggapi global warming

  • Global warming sebagai alat “Yang Mutlak” untuk menyatukan perbedaan sosial manusia, maka dengan kata lain bahwa global warming pasti akan terjadi namun sejauh mana kerjasama sosial-lingkungan manusia dalam memelihara bumi (baca: memperlambat gejala alam ini yang pasti akan terjadi)


Metode:

  • Analisa-kritis permasalahan melalui pendapat para teolog di Indonesia dan studi pustaka.



Adakah suatu agama tersendiri yang mampu mengatasi lingkungan ini sendirian tanpa melihat mahluk sekitarnya. Dalam hal ini, ekosistem tidak pernah bisa bekerja sendirian dalam mewujudkan terjadinya siklus atau rantai kehidupan. Tanpa manusia sadari bahwa lingkungan telah mengajari mereka bagaimana menjalani hidup itu tidak dapat sendirian. Apa yang terjadi ketika satu bumi / planet ini adalah pohon semua? Dari mana pohon harus mempertahankan kehidupannya ketika tidak ada air. Jikalau Charles Darwin berbicara “seleksi alamiah” dalam proses kehidupan, maka yang paling tepat dalam proses lingkungan ini dapat juga dikatakan sebagai “saling ketergantungan alamiah.”

Jikalau alam mempunyai proses lingkungan (saling ketergantungan alamiah), maka manusia dalam proses sosialnya pun juga mempunyai “saling ketergantungan sosial” ketika memahami konteks manusia itu sendiri sebagai mahluk yang sosial. Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa manusia ini adalah mahluk yang sosial? Ted Peters dalam artikelnya mengatakan bahwa manusia sejak lahir sudah memiliki gen yang berbeda dengan manusia lainnya (bahkan saudara kembarnya) dan inilah yang membawa perbedaan pula dalam perkembangan diri manusia itu sebagai mahluk individu dan sosial.1

Setelah kita melihat perbedaan gen yang membawa pengaruh pada perkembangan sosial, adakah guna dari berkonflik dan bersitegang terus-menerus? Mengapa selalu menyelesaikan perbedaan dengan mencari siapa yang benar? Dalam hal ini, ketergantungan sosial manusia begitu kabur.

Knitter hendak membawa kita kepada pemahaman yang universal dalam menyikapi keranekaragaman agama di bumi ini.2 Kesejahteraan manusia-lingkungan yang tidak dapat dipandang oleh satu agama saja, melainkan oleh seluruh agama guna mengaplikasikan apa itu kesejahteraan umum yang sebenarnya. Isu global warming merupakan umpan balik yang sangat efektif untuk melihat peran tiap agama di Indonesia ini dan mencapai jawaban universal (baca: Indonesia) sebagai cermin dari kerukunan antar umat beragama.

1 Ted Peters dan Gaymon Bennet (peny.), Menjembatani Sains dan Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 114.

2 Paul Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi –Agama dan Tanggung Jawab Global (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 180.



diharapkan komentar anda untuk merespon tulisan ini yang hendak diteliti atau mungkin ada bantuan rekomendasi buku apa saja.