Kamis, 06 Maret 2008

AGAMA, KONFLIK, DAN RESOLUSI KONFLIK

AGAMA, KONFLIK, DAN RESOLUSI KONFLIK

(Suatu Sumbangsih Pemikiran Terhadap Konflik Agama di Indonesia)

  1. Latar Belakang

Konflik tidak dapat lepas dari kehidupan tiap manusia. Mungkin pernyataan penulis ini menimbulkan berbagai ketidaksetujuan dari beberapa pihak dan kalangan. Namun, maksud penulis memberi pernyataan berikut ini tidak serta-merta mengatakan bahwa konflik itu benar. Dalam “materi pelatihan untuk stakeholder di Poso”, Litaay mengatakan bahwa kehidupan manusia tidak bisa lepas dari konflik karena kehidupan manusia tidak jauh dari suatu keadaan di mana terjadi ketidak-sepakatan, perbedaan pandangan, benturan kepentingan, maupun pertikaian terbuka antara dua pihak atau lebih.1 Maksud dari penulis sendiri lebih condong untuk mengarahkan perhatian kita kepada adanya kepentingan pribadi (abadi) yang dimiliki setiap manusia. Suatu kepentingan yang tak dapat dihilangkan ketika masih berada di dunia yang fana ini.

  1. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan makalah ini, penulis mengangkat dalam judul besar yaitu Agama, Konflik, dan Resolusi Konflik: Suatu Sumbangsih Pemikiran Terhadap Konflik Agama di Indonesia. Sorotan terhadap agama akan menjadi tujuan yang utama dalam pengkajian makalah ini. Penulis melihat bahwa pentingya peran agama dalam solidaritas sosial dalam masyarakat. Hal ini yang membuat banyak pengaruh, dan kebanyakan jahat ketika agama menjadi otoritas tertinggi dalam suatu praktek sosial. Agama yang tak memiliki kontrol bersama dalam pengaplikasiannya, sehingga menjadikan agama sebuah kejahatan besar. Penulis lebih cenderung mengatakan para penganut agama sebagai para pengikut yang percaya tanpa adanya respon intelektual untuk mengkaji setiap pemahaman yang dikeluarkan oleh agama dan inilah kebanyakan yang terjadi di Indonesia ini. Tentunya juga dalam makalah penulis ini, penulis hanya memberikan satu sisi dari sebuah koin.


KETIKA AGAMA MENJADI AKAR KONFLIK

  1. Charles Kimball: When Religion Becomes Evil2

Tradisi tiap agama selalu mengajarkan mengenai moral dan etika yang baik dalam kehidupan terhadap sesama, bahkan sampai impian kepada masa depan yang bahagia.3 Kimball juga mencatat bahwa hampir segala kejahatan yang dilakukan banyak orang diatasnamakan agama. Agama mempunyai otoritas tertinggi dalam setiap perintah di ayat sucinya. Bahkan, dengan menunjukkan paradigma yang terlalu fundamental, agama mampu menerobos pola pikir manusia menjadi pola pikir yang hanya memikirkan agama – segala sesuatu benar – masuk surga.

Berikut ada 5 tesis yang diberikan Kimball sebagai latar belakang lahirnya kekerasan agama:4

  1. Klaim Kebenaran Mutlak

Klaim kebenaran mutlak ini adalah suatu kecenderungan / tanggapan (kepercayaan penuh) yang diberikan umat kepada pemimpin yang mengajarkan dan menginterpretasikan teks-teks kitab suci sebagai kebenaran. Bagi Kimball, kecenderungan yang seperti ini merupakan awal dari kejahatan dengan memanfaatkan kepercayaan penuh para pengikut. Kimball membagi lagi klaim-klaim kebenaran mutlak ke dalam beberapa aspek penting, seperti:

    1. pemahaman tentang Tuhan yang begitu sempit, sehingga hal ini akan menyebabkan tidak dapat menghargai agama lain karena Tuhan dalam agamanya merupakan mutlak yang benar, misal: “agamaku lebih sempurna dari agamamu karena Tuhan hanya satu-satunya Tuhan yang berkuasa,”

    2. oleh karena kepercayaan penuh terhadap penafsiran yang dilakukan para pemimpin agama, maka ada kesempatan besar bagi para pemimpin agama untuk memanipulasi dan mengeksploitasi teks-teks kitab suci. Toh, yang para pengikut tahu hanya menjalankan apa yang para pemimpin agama perintahkan karena “seperti yang tertulis dalam kitab suci.” Hal ini pula yang membuka peluang besar untuk melegitimasi dengan membenarkan terjadinya suatu kekerasan dan kejahatan yang dilakukan,

    3. paradigma misi yang membuat orang yang taat akan agamanya terdorong untuk mempengaruhi orang lain untuk melihat bahwa agamanya adalah baik (Kristenisasi / Islamisasi),

    4. sikap atas klaim kebenaran mutlak yang telah dilakukan akan menentukan bagaimana selanjutnya orang tersebut memandang agama lain, adakah saling menerima satu sama lain atau sulit menerima dan mengakui kebenaran agama lainnya.

  1. Kepatuhan Buta

Tanggapan yang penuh pasrah dari para pengikut agama tanpa adanya penggalian makna dan pandangan kritis terhadap pengetahuan yang muncul tiba-tiba terhadap para pemimpin agama mengenai teks-teks kitab suci akan dengan sendirinya menimbulkan:

    1. kepemimpinan yang otoriter, mendewakan dan didewakan. Sosok seorang pemimpin yang mendewakan penafsirannya sendiri dan didewakan oleh para pengikutnya,

    2. adanya pelimpahan kekuasaan tanpa batas dan isolasi yang sangat kaku oleh sebuah kelompok orang-orang yang mencari alternatif lain di luar kelompok mainstream,

    3. sekelompok orang percaya yang tidak mengerti apa-apa namun setia kepada agamanya tanpa keinginan untuk mengetahui peranan agama yang dianutnya (kesetiaan buta),

    4. indoktrinasi terhadap pengertian dan pemahaman tentang agama yang dilakukan tanpa adanya respon intelektual dari para pengikut yang percaya.

  1. Membangun Zaman Ideal

Suatu agama yang memahami akan adanya zaman yang dinanti-nantikan, di mana zaman itu ialah zaman yang dipahami sebagai zaman pengharapan / zaman yang ideal. Dalam hal ini yang menjadi persoalan ialah ketika adanya suatu usaha-usaha yang negatif (adanya pemaksaan faham-faham yang dianut untuk dinilai yang paling benar, seperti: meng-agama-kan negara dan meng-negara-kan agama) untuk diperjuangkan demi terwujudnya zaman yang ideal ini.

  1. Tujuan Menghalalkan Segala Cara

Kecenderungan penyalahgunaan agama sebagai cara untuk mencapai tujuan dan kepentingan dengan menghalalkan segala cara, seperti penyakralan, melakukan pembelaan yang dehumanis, dan pembelaan hegemonis mati-matian secara konspiratif.

  1. Penyeruan Perang Suci

Istilah “mati syahid” tampaknya lebih cenderung dalam tesis yang kelima ini. Para pengikut yang percaya rela mengorbankan dirinya, bahkan mengakibatkan orang lain menjadi korban pula. Mereka hanya tahu bahwa yang dilakukan adalah baik dan kehendak Allah.

Kimball mengritik agama karena peran agama sudah tidak lagi sesuai dengan ajaran yang diajarkan. Kimball tidak mengatakan bahwa agama itu tidak perlu, tetapi agama seharusnya ada untuk menciptakan kedamaian di antara manusia.

  1. Jack Nelson-Pallmeyer: Is Religion Killing Us?5

Pada dasarnya Pallmeyer mengakui bahwa agama itu baik, tapi sekarang agama mulai tidak lagi bertoleransi dan berujung kekerasan. Agama dipandang sebagai the elephant in the room artinya agama terpenjara oleh paradigma yang begitu bodoh (Agamaku adalah Tuhanku yang tidak mengenal mengenal agama lain) dan melakukan gerakan apatis terhadap disekelilingnya . Oleh karena perubahan yang terjadi dalam diri agama ini, Pallmeyer mulai mengkritik agama dari dalam diri agama itu sendiri.

Pallmeyer mengkritik agama (yang mengakibatkan kekerasan) tidak hanya sudut pandang orang yang menafsirkan dan setiap perbuatan para pengikutnya yang percaya, tetapi juga melihat dari sudut pandang teks itu sendiri. Jadi, kritik Pallmeyer terhadap agama ini mulai dari kitab (teks-teks suci)pembaca – dan sampai kepada konteks. Jack Nelson-Pallmeyer melakukan dekonstruksi dengan mengkritik agama sampai ke akar-akarnya (khususnya Yahudi, Kristen dan Islam) dan ia pun merekonstruksinya sendiri demi kelancaran hidup umat manusia bersama-sama. Rekonstruksinya ialah ketiga agama ini perlu keluar bersama-sama dari pengetahuan tentang agamanya masing-masing untuk melihat secara bersama-sama the “sacred” texts ini yang mengandung / bermakna tradisi violence-of-God (yang di dalamnya terdapat contoh-contoh sikap Allah yang berperang melawan musuh) dan bersama-sama juga mencari jalan keluar terbaik agar tidak terkurung dalam the “sacred” texts mereka sendiri guna menuju paradigma yang konkret dan sehat – inklusif, bukan eksklusif.6

Adapun beberapa contoh tradisi violence-of-God dalam the “sacred” texts yang dipaparkan oleh Jack Nelson-Pallmeyer:

  1. dalam naskah Ibrani, seperti: Keluaran 11:5 – Allah yang membunuh tiap anak sulung di Mesir, baik itu anak manusia maupun anak hewan, serta masih banyak lagi dalam kitab Keluaran yang mengindikasikan bahwa Allah memerintahkan Musa untuk membunuh orang-orang Mesir untuk mengeluarkan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir.7 Kemudian, dalam cerita pembuangan bangsa Israel, Yesaya 60: 10-12 – Allah memukul mundur bangsa yang menawan bangsa Israel demi kesejahteraan bangsa Israel sendiri, dan menghukum bangsa Israel sendiri ketika didapati melakukan dosa.8

  2. dalam naskah Perjanjian Baru, seperti: kematian Yohanes Pembaptis (Mat. 14), eksekusi hukuman salib Yesus (Mat.27: 32-56), dan hancurnya Yerusalem.9 Wahyu 14:9-10 – apokaliptik yang menyatakan bahwa kemurkaan Allah akan turun bagi orang yang tidak taat dan patuh.10 Oleh karena alasan seperti ini dari sekian banyak ayat lainnya, dapat membuka peluang adanya kekerasan yang timbul dalam setiap praktek keagamaan. :

  3. dalam naskah Al-Qur’an, tradisi violence-of-God dibagi menjadi 7 bagian:11

  1. ancaman-ancaman neraka terhadap mereka yang tidak percaya (kalimat syahadat), kalimat pengakuan yang mengandung makna bahwa tiada Tuhan selain Allah dan mengakui nabi Muhammad itu utusan Allah yang paling akhir dan dipercayai membawa Al-salam (Islam),12

  2. ancaman-ancaman neraka terhadap mereka yang bersikap tidak baik dengan memotivasi sikap yang positif (setiap orang harus berjalan sesuai dengan kehendak Allah).13 Hal ini lebih cenderung kepada kepatuhan buta (hanya kehendak Allah yang paling benar),

  3. takut akan Allah yang sesuai dengan kehendak Allah dalam Al-Qur’an. Muhammad sebagai sentral pemberitaan dalam Al-Qur’an. Sehingga banyak yang mendalilkan setiap keputusan yang diambil berdasarkan Muhammad said,14

  4. membenarkan kekerasan manusia dan peperangan melawan agama lain dan musuh-musuh (Allah is Protector of Those Who Have Faith). Fight in the cause of Allah Those who fight you, but do not transgress limits; For Allah loveth not transgressors (2:190),15

  5. Paradise Promisses. Berani melakukan pertarungan / berjihad dan mereka memahami bahwa dengan melakukan kehendak-Nya akan masuk surga. Jack Nelson-Pallmeyer mengutip ayat agar setiap muslim yang melakukan kehendak-Nya masuk ke Surga:16

Those who have left their homes, And were driven out there from, And suffered harm in My Cause, And fought and where slain – Verily, I will blot out From their iniquities, And admit them into Gardens With rivers flowing beneath – A reward from the Presence of Allah, and from His Presence Is the best of rewards. (3:195)

  1. images of God as holy warrior. Dalam Qur’an 2:251 dikatakan bahwa Daud membunuh Goliat dikarenakan Allah’s will. Hal ini mengindikasikan adanya peran serta Allah dalam kekerasan,17 dan

  2. pemahaman umat yang radikal dan tak kenal kompromi (Islamic Extremists). Hal ini disebabkan adanya interpretasi terhadap ayat Al-Qur’an yang sempit, sehingga mengakibatkan pula sempitnya pemahaman yang beredar di kalangan umat.18

  1. Johan Galtung: Segitiga Kekerasan

Johan Galtung, dalam antitesisnya, memperkenalkan conflict trianglenya yang biasa dikenal sebagai segitiga kekerasan Galtung, yaitu:19

  1. Direct (overt) violence. Kekerasan langsung yang terjadi secara fisik (penyerangan langsung).

  2. Structural violence. Kekerasan struktural ini termasuk kekerasan tak langsung karena penekanan lebih condong kepada sistem yang berjalan dalam suatu situasi sosial.

  3. Cultural Violence. Kekerasan yang sudah ada dalam suatu budaya yang dianut sekelompok orang di dalamnya. Model kekerasan ini terjadi karena perilaku yang sudah sering dilakukan (kebiasaan) sehingga tidak terlalu menimbulkan pro dan kontra yang menyolok, terkecuali ada yang memrotes kebudayaan tersebut dan hendak melakukan perubahan karena dinilai telah mengakibatkan kekerasan yang selama ini belum dimengerti sepenuhnya,

Galtung juga memperkenalkan mengenai negative and positif peace. Galtung menilai ketika kekerasan fisik terhenti, namun masih belum terselesaikan secara mendalam, maka hal itu tetap ada konflik dari dalam (negative peace), sedangkan masalah konflik terselesaikan sampai ke akar-akarnya tanpa lagi ada lingkaran dendam dari generasi ke generasi, maka ini disebut sebagai positive peace.

  1. Pengertian Konflik

Secara psikologi, konflik adalah suatu proses yang terjadi apabila perilaku seseorang yang terhambat karena perilaku orang lain dan lebih cenderung terjadinya ketidaksesuaian dalam suatu hubungan. Braiker dan Kelley mengelompokkan bermacam-macam konflik dalam tiga kategori:20

  1. Perilaku spesifik

Konflik yang terjadi karena perilaku spesifik ini terjadi karena salah satu pihak membuat suatu perbuatan atau keputusan yang merugikan orang lain, seperti: orang mabuk di suatu pesta, dan seseorang yang membuang sampah sembarangan, dan lain-lain.

  1. Norma dan Peran

Konflik jenis ini lebih cenderung ke arah sosial yang menyangkut peran, baik hak maupun kewajiban yang ada dalam diri seseorang, seperti: kurang seimbangnya hubungan timbal balik, pengingkaran janji, dan lain-lain.

  1. Disposisi pribadi

Terjadi ketika adanya tanggapan atau respon melalui perilaku seseorang terhadap orang yang tidak disukainya.

Ada pula pengertian konflik secara sosiologi. Engel menyebutkan ada 4 (empat) faktor penyebab konflik, yaitu:21

  1. akibat perbedaan sasaran dan ekspetasi. Adanya perbedaan sasaran terhadap tujuan yang hendak dicapai dalam suatu usaha atau hubungan kerja sama.

  2. Masalah komunikasi yang mengakibatkan salah paham dan salah interpretasi. Terjadi karena kurangnya kemampuan pengetahuan terhadap sesuatu yang hendak diinterpretasi.

  3. Perbedaan gaya manajemen. Adanya perbedaan pandangan dalam memahami atau memandang sesuatu yang hendak dijalankan bersama.

  4. Perbedaan kepribadian / personality. Di sinilah yang sering terjadi konflik karena satu sama lain masih melihat kepribadiannya masing-masing (ras, etnis, suku, sejarah pribadi) sebagai yang paling baik.

Pemahaman-pemahaman konflik di atas dapat kita tarik suatu pengertian bebas, yaitu konflik terjadi karena adanya suatu hubungan kekerabatan (relationship). Hubungan kekerabatan ini menciptakan suasana interdependensi yang meningkat. Hal inilah yang membuat semakin rentannya konflik terjadi, baik itu secara individu maupun sosial. Interdependensi yang makin meningkat akan meminta suatu pengertian bersama atau dengan kata lain kehidupan bersama mengehendaki adanya suatu pandangan bersama yang universal guna mencapai tujuan bersama ke depannya dan tetap terjaganya relationship tersebut. Namun, konflik akan terjadi ketika tidak adanya suatu pandangan bersama, apalagi cenderung berorientasi kepada kepentingan-kepentingan individu.


AGAMA, KONFLIK, DAN RESOLUSI KONFLIK DI INDONESIA

Tercatat bahwa semenjak adanya program transmigrasi di Indonesia yang sebelumnya sudah dilakukan oleh pemerintahan Soeharto (1968-1998), telah mengakibatkan timbul banyaknya persepsi bahwa pemerintah sengaja mengadakan transmigrasi untuk melakukan peng-Islam-an di Indonesia (isu Islamisasi). Mengenai hal ini ternyata program transmigrasi sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda dengan tujuan untuk memindahkan penduduk dari daerah padat, seperti pulau Jawa, Bali dan Madura ke daerah yang lebih sedikit penduduknya, seperti Ambon, kepulauan Sunda dan Papua.22 Isu Islamisasi ini terjadi ketika mulai bermunculannya konflik-konflik agama di daerah-daerah tujuan transmigrasi tersebut. Kenyataannya tujuan program ini (pada beberapa dekade ini), yang diaktifkan pada zaman Hindia Belanda, tidak lagi semurni apa yang dilakukan pada masa lalu. Ada kepentingan-kepentingan pribadi yang dijalankan demi tercapainya kekuasaan politik untuk memecah-belah persatuan dan kesatuan di daerah yang dituju dan tentunya kepentingan-kepentingan para elit penguasa.

  1. Agama: Suatu Analisa Peran Agama di Indonesia

Adalah Franz Magnis-Suseno yang mengatakan bahwa agama dalam era modern dan globalisasi ini agama masih berpegang pada paradigma lama. Paradigma lama yang dimaksud Suseno ialah paradigma agama yang masih eksklusif, yaitu orang kita-orang asing. Ada keterpisahan antara orang yang percaya pada suatu agama dengan orang yang percaya dengan agama lain. Pada abad ke-21 ini, dunia semakin meng-universal, semua hal bisa terjangkau. Oleh karena itu, manusia juga membutuhkan pemikiran yang universal untuk dapat bersatu dengan individu yang lain menjalin komunikasi dan kerjasama. Namun, sayangnya agama menjadi faktor penghambat untuk hal ini. Agama menolak dengan dingin apa yang disebut modernisasi. Dalam hal ini, Suseno membandingkan masa sekarang dengan masa Pencerahan (Aufklarung), di mana mulai memperjuangkan cita-cita etika politik baru yang bertujuan menjamin martabat manusia ciptaan Allah, tapi agama menolaknya dengan dingin cita-cita demokrasi, hak asasi manusia, toleransi religius, kebebasan berpikir dan beragama, serta cita-cita kebebasan dan kesamaan manusia itu. Dengan demikian, konflik akan terjadi terus karena agama selalu merasa bahwa modernisasi dan globalisasi adalah ancaman mutlak bagi mereka, sehingga untuk menegakkan agamanya, orang-orang di dalam agama (fanatik) akan melakukan tindakan dehumanisasi untuk mempertahankan paradigma lama mereka.23

Selain itu ada juga pandangan seorang pendeta Sumba yang mengatakan bahwa sikap fanatik telah mencemarkan dan memerosotkan agama sampai ke tingkat yang paling rendah. Mengapa dikatakan fanatik? ya, karena semangat itulah yang sedang terjadi dalam negara Indonesia. Yewangoe mengambil contoh dalam Hans űng mengenai empat posisi relasi antar-agama dalam negara Indonesia, yaitu posisi pertama ialah tidak ada agama yang benar (semua agama sama-sama tidak benar), posisi kedua ialah hanya ada satu agama, semua agama lain tidak benar, posisi ketiga ialah setiap agama adalah benar (semua agama adalah benar), posisi keempat ialah hanya satu agama yang benar dan agama lain mempunyai andil dalam kebenaran agama yang satu ini. Adalah posisi yang kedua merupakan relasi antar-agama di Indonesia, yaitu hanya ada satu agama yang benar, semua agama lain tidak benar. Pandangan seperti inilah yang memicu tindakan-tindakan the elephant in the room (bahasa Pallmeyer), yang membabi-buta melakukan dehumanisasi demi menyatakan agamanya yang paling benar (dan yang lain kafir). Dalam kritik Yewangoe terhadap kehidupan beragama di Indonesia ini, beliau juga menganggap tidak ada yang cocok untuk dikembangkan dalam kemajemukan agama di Indonesia ini, tapi keempat posisi itu membantu untuk mengkontekstualkan teori itu ke dalam negeri sendiri, yaitu “satu pohon mempunyai banyak daun, ada banyak agama dan semuanya itu berakar pada satu Tuhan saja.” Artinya tidak ada agama yang mengklaim dirinya benar karena “Kebenaran” itu sendiri adalah pusat yang harus dikelilingi oleh agama-agama yang ada.24

Dua pandangan di atas adalah pandangan para teolog dalam negeri. Kini, penulis, mencoba beralih pandangan ke pemikir lain yang ikut menyumbangkan kritiknya terhadap agama. Kimball dan Pallmeyer berusaha melihat faktor apa yang ada dalam agama ketika agama itu sendiri tidak lagi mendatangkan kedamaian, melainkan berujung kekerasan. Pada dasarnya Kimball dan Pallmeyer sama melihat adanya faktor intelektual, baik pada pemimpin agama maupun para pengikut setia agama dalam mengambil keputusan yang hendak dijalankan. Namun, bedanya ialah Kimball lebih condong kepada pola pikir para pemimpin agama dan para pengikut dan Pallmeyer sendiri lebih menyoroti teks kitab suci (dasar agama) yang dianggap sumber dari kekerasan itu sendiri.

Sungguh sangat menarik menurut penulis, ketika kita menggabungkan dua pola pikir ini (Kimball dan Pallmeyer). Kimball mensinyalir adanya awal kejahatan dari klaim kebenaran mutlak yang diberikan pada penginterpretasi teks bahwa tafsiran teks yang dilakukan adalah benar adanya dan perlu dilaksanakan demi melakukan kehendak Allah. Inilah yang menjadi kritik Pallmeyer juga, yaitu ternyata dalam teks itu sendiri mengandung tradisi violence of God, sehingga otomatis dalam interpretasi yang sembrono dan sempit akan melahirkan suatu gerakan kekerasan untuk berjuang mencita-citakan dan mengatasnamakan kehendak Allah tersebut. Selain itu, ada pula teori kepatuhan buta yaitu terjadi pada kalangan para pengikut yang mendewakan para pemimpin yang ingin mewujudkan zaman yang “ideal” atau dalam bahasa Pallmeyer adanya kepentingan pribadi dalam penafsiran the “sacred” texts itu. Sehingga sungguh sangat memungkinkan untuk jalan terakhir ialah meletuskan adanya perang suci atas nama “perangku adalah perang Allahku” dan itu akan menimbulkan konflik di setiap pelosok tanah air.

Namun, lebih menarik kalau kita meminjam istilah Galtung sejenak dengan Cultural Violencenya. Galtung memosisikan cultural violencenya sebagai dasar untuk melegitimasi kekerasan (direct dan structural) yang terjadi. Cultural violence terjadi menjadi sebuah legitimasi karena pandangan teologis yang ada di agama itu sendiri. Pandangan teologis ini menggerakkan para pengikut untuk bersikap sebagaimana seharusnya. Kembali lagi pada Suseno, bahwa pandangan teologis seperti inilah yang harus diperbaharui.

  1. Konflik dan Resolusinya (Mediasi): Suatu Sumbangsih Pemikiran Terhadap Konflik Agama di Indonesia

Konflik di Indonesia seperti di Ambon, Poso, dan lain sebagainya merupakan konflik agama yang tak dapat diselesaikan dengan tempo yang singkat. Artinya butuh proses (waktu) untuk menyelesaikan konflik yang besar ini. Ada pula konflik yang kecil, yang belum memuncak menjadi perang atas nama agama, seperti pengrusakan rumah-rumah ibadat di daerah Ibukota, pulau Jawa, dan lainnya. Konflik ini masih dapat diredam, namun ada potensi untuk menjadi besar (Galtung).

Untuk memahami dan menyelesaikan konflik ini dibutuhkan penengah agar kesepakatan bersama terjalin. Mediasi merupakan salah satu jalan yang semestinya ada dalam melihat pertikaian yang terjadi. Mediasi ada untuk kedua belah pihak, bukan untuk salah satu, oleh karenanya mediator hanya membantu untuk bersama melihat sisi positif yang harus dijalankan kedua belah pihak agar bisa berjalan ke depannya dengan damai. Adapun prinsip utama yang harus dipunyai mediator adalah sebagai pemberdaya dan fasilitator yang netral. Tidak boleh lebih dari itu karena intervensi mediator hanyalah di tengah dengan senetral-netralnya. Duabelas fase tindakan mediator yang harus diterapkan untuk mencapai kesepakatan bersama (win-win solution):25

    1. membangun hubungan para pihak yang bersengketa,

    2. memilih strategi-strategi sebagai proses mediasi,

    3. mengumpulkan dan menganalisis latar belakang informasi,

    4. mendesain rencana detail bagi mediasi,

    5. membangun kepercayaan dan kerjasama,

    6. memulai acara mediasi (adanya negosiasi),

    7. merumuskan masalah dan menetapkan agenda,

    8. mengungkapkan kepentingan tersembunyi para pihak yang bersengketa,

    9. menentukan pilihan-pilihan untuk penyelesaian masalah,

    10. menemukan pilihan-pilihan untuk menyelesaikan sengketa,

    11. tawar-menawar terakhir, dan

    12. mencapai penyelesaian formal.

Keduabelas langkah ini mengindikasikan bahwa upaya mencapai kesepakatan bersama dibentuk / diputuskan oleh kedua belah pihak yang berkonflik itu sendiri. Mediator hanya membantu proses, yang berperan penting dan yang sangat menentukan adalah kesadaran dan keterbukaan hati dan pikiran kedua belah pihak untuk merespon proses mediasi yang dilakukan.

Ada satu kata kunci yang mengena pada langkah-langkah mediasi ini, yang juga sesuai dengan saran dari Liek Wilardjo,26 yaitu adanya dialog. Liek Wilardjo menegaskan bahwa integrasi adalah kemungkinan ke depannya untuk sebuah konflik, tetapi yang terpenting adalah adanya dialog. Dengan adanya dialog antar umat beragama, berarti sudah menciptakan setidak-tidaknya suasana saling menghargai walaupun kurang dari yang diharapkan dalam mencapai perdamaian. Dialog menandakan adanya keinginan dari dalam untuk mendengarkan dan didengarkan antara kedua belah pihak. Dalam bahasa Galtung, dialog adalah negative peace, sedangkan integrasi adalah positive peace.


BUKAN PENYELESAIAN, MELAINKAN KESEPAKATAN BERSAMA

Konflik yang terjadi tak dapat terelakkan lagi ketika pola pikir kita masih tertutup terhadap apa yang ada disekeliling kita. Banyak pendekatan-pendekatan dilakukan, namun banyak pula yang gagal dalam melakukan pendekatan tersebut, karena masih adanya kepentingan pribadi yang dibawa dalam pendekatan itu. Gus dur dalam artikel Agus Rachmat27 mengatakan bahwa agama seharusnya dipisahkan dari negara, begitu pula sebaliknya. Negara yang membawa faktor sosial, politik dan ekonomi hanya menambah masalah baru dengan adanya kepentingan-kepentingan pribadi untuk melakukan penguasaan negara atas nama agama. Negara seharusnya menjadi instrumen sosial yang mengaktualkan ajaran universal setiap agama di Indonesia menjadi nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga bisa dikatakan dan seharusnya tetap berlaku, yaitu pancasila sebagai pandangan bersama di Indonesia. Pandangan bersama ini tidak dapat berjalan dengan mulus ketika salah satu pihak / agama mengintervensi urusan negara, dan begitu juga sebaliknya negara intervensi terhadap salah satu agama.

Dialog adalah sebuah jalan yang perlu dicoba. Dialog merupakan upaya mandiri yang seharusnya dilakukan agama-agama yang ada di Indonesia untuk mencegah masuknya intervensi negara / pihak-pihak yang membawa kepentingan pribadi para elit penguasa ke dalam pencapaian kesepakatan bersama. Dialog yang dilakukan perlu menembus dimensi setiap budaya yang bertikai karena paradigma yang paling mendasar terletak pada budaya itu sendiri, sehingga kesepakatan bersama ada bukan untuk menghilangkan budaya itu, melainkan memperbaharuinya dengan paradigma yang baru, contoh di Ambon ada suatu ikatan yang telah membudaya, yaitu “pela”, budaya yang menjunjung tinggi kebersamaan , di mana susah dan senang dirasakan secara bersama. Budaya tetap exist dan pola pikir terus berkembang, itulah yang seharusnya berkembang di daerah konflik karena yang berkonflik bukan orang kita dengan orang asing, melainkan orang kita dengan orang kita. Tidak ada yang bisa menyatukan selain dari pada budaya itu sendiri, budaya yang pada dasarnya dibentuk karena kesepakatan bersama.

Mediasi memerlukan waktu yang lama untuk konflik seperti di Ambo, Poso, dan lain sebagainya, begitu juga kesepakatan yang akan dicapai. Ketika agama tidak bisa menyatukan, maka budaya yang berbicara. Mediasi (Resolusi) yang dijalankan bukan untuk menyelesaikan, melainkan untuk mencapai kesepakatan bersama. Artinya, menurut penulis, adalah bukan musuh yang kita hadapi, tapi saudara. Adanya kesepakatan bersama akan mencapai rasa kekeluargaan yang tinggi, sehingga kepentingan bersama didahulukan dari pada kepentingan pribadi (abadi).

DAFTAR PUSTAKA



Engel, Jacob D. Gereja dan Masalah Sosial. Salatiga: Tisara Grafika, 2007.

Kimball, Charles. When Religion Becomes Evil. New York: Harpercollins Publishers,Inc, First Edition. 2002.

Lattu, Izak Y. M. Makalah Agama, Konflik, dan Resolusi Konflik: Duabelas Fase Tindakan Mediator oleh Peter Suwarno.

Litaay, Theofransus L. A., dkk. Manajemen Konflik: Materi Pelatihan Untuk Stakeholder. Sulawesi Tengah: Poso. 2007.

Nelson-Pallmeyer, Jack. Is Religion Killing Us? New York: Trinity Press International. 2003.

Sears, David O. Jonathan L. Freedman, dkk. Psikologi Sosial Jilid 1. Jakarta: Erlangga, Edisi Kelima. 1988.

Tim Balitbang PGI. Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Theologia Religionum. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2003.

Yewangoe, A. A. Iman, Agama dan Masyarakat Dalam Negara Pancasila. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2002.

SUMBER JURNAL


Jurnal Waskita Vol.II No. 2, Nov.2005 oleh Liek Wilardjo dalam artikel “Persrawungan Ilmuwan-Agamawan: Dialog Menuju Kemungkinan Integrasi?”



SUMBER INTERNET


http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia#Hubungan_antar_agama


http://en.wikipedia.org/wiki/peace_and_conflict_studies


http://www.passievoorvrede.nl/upload/indonesie/karagan/karagan_01_interreligious.html

1 Theofransus L. A. Litaay, dkk, Manajemen Konflik: Materi Pelatihan Untuk Stakeholder (Sulawesi Tengah: Poso, 2007), 1.

2 Charles Kimball, When Religion Becomes Evil (New York: Harpercollins Publishers, Inc, First Edition, 2002).

3 Ibid., 23.

4 Ibid., 38-166.

5 Jack Nelson-Pallmeyer, Is Religion Killing Us? (New York: Trinity Press International, 2003).

6 Ibid., 148.

7 Ibid., 46.

8 Ibid., 51.

9 Ibid., 68.

10 Ibid., 69.

11 Ibid., 75.

12 Ibid.

13 Ibid., 79.

14 Ibid., 81.

15 Ibid., 84.

16 Ibid., 88.

17 Ibid., 90.

18 Ibid., 91.

19 diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/peace_and_conflict_studies pada 12 Dec 2007 pukul 07.07 p.m.

20 David O. Sears, Jonathan L. Freedman, dkk, Psikologi Sosial Jilid 1 (Jakarta: Erlangga, Edisi Kelima, 1988), 245.

21 Jacob D. Engel, Gereja dan Masalah Sosial (Salatiga: Tisara Grafika, 2007), 108.

22 diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia#Hubungan_antar_agama pada 12 Dec 2007 pukul 07.44 p.m.

23 Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Theologia Religionum (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 52-61.

24 A. A. Yewangoe, Iman, Agama dan Masyarakat Dalam Negara Pancasila (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 17-25.

25 Izak Y. M. Lattu, Makalah Agama, Konflik, dan Resolusi Konflik: Duabelas Fase Tindakan Mediator oleh Peter Suwarno .

26 Jurnal Waskita Vol.II No. 2, Nov.2005 oleh Liek Wilardjo dalam artikel “Persrawungan Ilmuwan-Agamawan: Dialog Menuju Kemungkinan Integrasi?,” 137-147.