Senin, 25 Februari 2008

Kesejahteraan Manusia-Lingkungan

KESEJAHTERAAN MANUSIA-LINGKUNGAN: ANTISIPASI GLOBAL WARMING SEBAGAI SEBUAH WADAH APLIKASI PEMERSATU TIAP AGAMA

(INDONESIA SEBAGAI SEBUAH KONTEKS)


Ide / gagasan:

  • Kesejahteraan Manusia-lingkungan sebagai wadah kebersamaan dalam pluralitas yang ada

  • Penderitaan manusia dan planet ini yang bisa menjadi masalah bersama agama

  • Global warming sebagai sebuah konteks bentuk pertanggungjawaban setiap manusia yang mengarah kepada peran tiap agama, khususnya di Indonesia, guna menjembatani konflik agama selama ini yang terjadi

  • Peran tiap agama di Indonesia walaupun berbeda faham namun mempunyai kesatuan perspektif dalam kesejahteraan manusia-lingkungan melalui ekoteologi sebagai perspektif bersama

  • No violence for each other baik terhadap manusia-maupun alam itu sendiri

  • Manusia yang beragama – manusia yang bersosial – manusia yang berlingkungan juga


Hipotesa:

  • Kesatuan alam (lingkungan) dan manusia sebagai kesatuan / jawaban universal dalam menanggapi global warming

  • Global warming sebagai alat “Yang Mutlak” untuk menyatukan perbedaan sosial manusia, maka dengan kata lain bahwa global warming pasti akan terjadi namun sejauh mana kerjasama sosial-lingkungan manusia dalam memelihara bumi (baca: memperlambat gejala alam ini yang pasti akan terjadi)


Metode:

  • Analisa-kritis permasalahan melalui pendapat para teolog di Indonesia dan studi pustaka.



Adakah suatu agama tersendiri yang mampu mengatasi lingkungan ini sendirian tanpa melihat mahluk sekitarnya. Dalam hal ini, ekosistem tidak pernah bisa bekerja sendirian dalam mewujudkan terjadinya siklus atau rantai kehidupan. Tanpa manusia sadari bahwa lingkungan telah mengajari mereka bagaimana menjalani hidup itu tidak dapat sendirian. Apa yang terjadi ketika satu bumi / planet ini adalah pohon semua? Dari mana pohon harus mempertahankan kehidupannya ketika tidak ada air. Jikalau Charles Darwin berbicara “seleksi alamiah” dalam proses kehidupan, maka yang paling tepat dalam proses lingkungan ini dapat juga dikatakan sebagai “saling ketergantungan alamiah.”

Jikalau alam mempunyai proses lingkungan (saling ketergantungan alamiah), maka manusia dalam proses sosialnya pun juga mempunyai “saling ketergantungan sosial” ketika memahami konteks manusia itu sendiri sebagai mahluk yang sosial. Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa manusia ini adalah mahluk yang sosial? Ted Peters dalam artikelnya mengatakan bahwa manusia sejak lahir sudah memiliki gen yang berbeda dengan manusia lainnya (bahkan saudara kembarnya) dan inilah yang membawa perbedaan pula dalam perkembangan diri manusia itu sebagai mahluk individu dan sosial.1

Setelah kita melihat perbedaan gen yang membawa pengaruh pada perkembangan sosial, adakah guna dari berkonflik dan bersitegang terus-menerus? Mengapa selalu menyelesaikan perbedaan dengan mencari siapa yang benar? Dalam hal ini, ketergantungan sosial manusia begitu kabur.

Knitter hendak membawa kita kepada pemahaman yang universal dalam menyikapi keranekaragaman agama di bumi ini.2 Kesejahteraan manusia-lingkungan yang tidak dapat dipandang oleh satu agama saja, melainkan oleh seluruh agama guna mengaplikasikan apa itu kesejahteraan umum yang sebenarnya. Isu global warming merupakan umpan balik yang sangat efektif untuk melihat peran tiap agama di Indonesia ini dan mencapai jawaban universal (baca: Indonesia) sebagai cermin dari kerukunan antar umat beragama.

1 Ted Peters dan Gaymon Bennet (peny.), Menjembatani Sains dan Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 114.

2 Paul Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi –Agama dan Tanggung Jawab Global (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 180.



diharapkan komentar anda untuk merespon tulisan ini yang hendak diteliti atau mungkin ada bantuan rekomendasi buku apa saja.